Aneh. Itulah kesan pertama saya saat mendengar ada makam seseorang bernama Zainal Abidin di Dusun Bulakblawong, Desa Babadan Lor, Kecamatan Balerejo, Madiun.
Ditambah lagi, ada bangunan masjid di dusun tersebut yang juga bernama Zainal Abidin.
Mengapa aneh?
Jika Anda ziarah ke makam Bulakblawong coba amati setiap nama yang tercantum di setiap nisan. Hampir bisa dipastikan semua nama adalah nama khas Jawa atau nama nasional Indonesia.
Tidak ada nama berbahasa Arab (nama santri) kecuali Zainal Abidin.
Dari segi nama, saya meyakini 2 (dua) hal:
Pertama, Kyai Zainal Abidin bukan warga asli Babadan Lor. Melainkan pendatang.
Kedua, beliau penduduk asli yang lahir dengan nama Jawa. Kemudian nyantri (berguru agama) kepada seorang kyai dan diganti namanya menjadi Zainal Abidin.
Keyakinan saya yang kedua didasari banyaknya kasus yang sudah ditulis sejarah. Seperti halnya nama pujangga besar tanah Jawa ki Ronggo Warsito. Ketika beliau nyantri (mondok), maka Oleh Kyai Kasan Besari, pengasuh Pesantren Tegalsari saat itu, namanya diganti menjadi Bagus Harun.
Menurut beberapa tokoh masyarakat di sana, makam itu adalah makam tua yang dikeramatkan. Sering datang peziarah dari luar daerah dengan berbagai keperluan.
Kekeramatan makam Kyai Zainal Abidin diakui beberapa ‘orang tua’ (sebutan yang acapkali disematkan untuk orang yang mempunyai keahlian mendeteksi hal-hal ghaib).
Siapa Kyai Zainal Abidin?
Sejauh ini belum ada informasi terang mengenai siapa Kyai Zainal Abidin? Dari mana asal muasal dan siapa dzurriyyah (anak turun) beliau?
Masyarakat sebatas meyakini beliau sebagai orang yang pertama babad alas (membuka lahan untuk mendirikan pemukiman) dan mengajarkan Islam di Babadan Lor khususnya Bulakblawong.
Akan tetapi sebuah penasaran besar kerap mengusik benak sebagian besar warga. Banyak orang luar daerah berziarah ke makam ini menandakan bahwa makam Kyai Zainal Abidin bukan makam biasa.
